Mari kita belajar dari 3 orang sahabat Rasulullah:
Abu Darda, Ibnu Masud, dan Abu Dujanah al-Anshari radhiyallahu anhum.
Mereka termasuk sahabat-sahabat Rasulullah yang senior.
Suatu
hari, Abu Darda berjalan bersama para sahabatnya. Di tengah jalan, ia
melihat seorang pendosa. Para sahabatnya yang lain mencaci orang itu.
Lalu Abu Darda berkata, ‘Bagaimana menurut kalian jika kalian
menemukan dosa itu pada hati kalian, apakah kalian akan
mengeluarkannya?’
Mereka menjawab, ‘Tentu saja’
Abu Darda berkata, ‘Makanya, janganlah kalian mencaci saudara kalian.
Sebaiknya pujilah Allah karena Dia-lah yang telah menyelamatkan kalian
dari dosa’.
Mereka bertanya, ‘Apakah engkau tidak membenci orang itu?’
Abu Darda menjawab, ‘Innama ubghidhu amalahu, fa idza tarokahu fa huwa
akhi -sesungguhnya yang aku benci adalah perbuatannya. Jika ia sudah
meninggalkan perbuatannya, maka ia tetap saudaraku’.
Lain
lagi dengan Ibnu Masud. Ia pernah berkata, ‘Jika kalian melihat
seseorang melakukan perbuatan dosa, maka janganlah kalian ikut-ikutan
menjadi backing syetan terhadap orang itu, dengan mengatakan, ‘Ya Allah,
balaslah perbuatannya. Ya Allah, laknatlah ia. Namun, mohonlah kepada
Allah agar kalian mendapatkan afiat (keselamatan dari dosa).
Sesungguhnya kita ini, para sahabat Nabi, tidak akan mengatakan sesuatu
terhadap seseorang sampai kita tahu tanda kematiannya. Jika akhir hidup
orang itu ditutup dengan kebaikan, maka tahulah kita bahwa ia sudah
mendapat kebaikan. Jika hidup orang itu berakhir dengan keburukan, maka
kita menjadi takut mendapat yang seperti itu’.
Begitulah
sikap mulia Abu Darda dan Ibnu Masud dalam menyikapi pelaku dosa.
Padahal kalau dilihat dari persfektif kesucian pribadi mereka, tentu
saja keduanya lebih pantas untuk mencaci para pelaku dosa. Sebagaimana
kita ketahui, Abu Darda adalah sahabat Rasulullah yang terkenal dengan
figur yang rajin ibadah. Begitu pula dengan Ibnu Masud, yang punya suara
indah, yang membuat Rasulullah menangis ketika mendengar Ibnu Masud
membaca al-Quran di hadapannya. Bukan hanya itu, meskipun Ibnu Masud
punya betis yang kecil, namun jika nanti ditimbang pada hari Kiamat,
maka berat betisnya yang kecil itu akan melebihi beratnya Bukit Uhud.
Ini menjadi tanda bahwa pemilik betis itu adalah orang mulia.
Lain lagi dengan orang yang bernama Abu Dujanah. Suatu hari ia sakit. Para sahabat yang lain datang menjenguknya.
Yang mengherankan, meskipun wajahnya pucat akibat sakit yang dideritanya, wajah Abu Dujanah tetap memancarkan cahaya.
Para sahabat bertanya, ‘Ma li wajhika yatahallalu? – Apa yang membuat wajahmu senantiasa bercahaya?’
Abu Dujanah menjawab, ‘Ada dua amal yang selalu aku pegang teguh dalam
hidup ini. Pertama, aku tidak pernah berbicara dengan sesuatu yang
kurang bermanfaat. Kedua, hatiku selalu menilai sesama Muslim dengan
hati yang tulus’.
Abu Darda, Ibnu Masud, dan Abu Dujanah
menjalani hidup sesuai hati mereka, bukan sesuka hati mereka. Tentu
saja, ada beda antara hidup SESUAI hati dengan hidup SESUKA hati.
No comments:
Post a Comment